DPD RI dan FISIPOL UGM Gelar FGD Penelitian Empirik Penyusunan RUU Perubahan UU Pemda

12 Februari 2024 oleh diy

Komite I DPD RI bekerja sama dengan FISIPOL UGM mengadakan Kegiatan FGD Penelitian Empirik Penyiapan Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Keempat Atas UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah di Auditorium Dekanat Lt. 4 Fisipol UGM pada Senin (12/02). Hadir pada acara tersebut, antara lain dari Parampraja DIY, Paniradya Kaistimewan, serta beberapa OPD di Lingkungan Pemda DIY.

FGD menghadirkan 4 pemateri, yaitu Dekan Fakultas Manajemen Pemerintahan IPDN, Dr. Halilul Khairi, M.Si. selaku Tim Ahli RUU Komite I, Guru Besar dalam bidang Ilmu Politik dan Pemerintahan dari Fisipol UGM, Prof. Dr. Haryanto, M.A., Guru Besar dan Ketua Program Studi Doktor ilmu ekonomi di Fakultas Ekonomika & Bisnis UGM Prof. Mudrajad Kuncoro, Ph.D., dan Pakar Hukum Tata Negara Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M.

Komite I melihat bahwa hingga saat ini upaya penataan sistem politik yang sesuai dengan karakter kebhinekaan dan kesatuan belum mencapai format yang ideal. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah mengalami beberapa kali perubahan, terakhir oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang kemudian diganti dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 (selanjutnya Perppu ini ditetapkan menjadi undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023).

“Selama perjalanan UU Pemda, dapat dikatakan telah terjadi dinamika yang kurang menggembirakan bagi marwah otonomi daerah, saat ini penyerahan urusan dan kewenangan ke daerah sudah berkurang, salah satu contohnya adalah penarikan kewenangan proses 13 periijinan ke pemerintah pusat melalui UU Cipta Kerja,” ujar Halilul.

Menurut Halilul, banyak hal yang secara peraturan didesentralisasikan akan tetapi tidak diikuti dengan pengalokasian anggaran yang memadai. Jika hal ini terus terjadi, maka dapat dikatakan bahwa otonomi daerah telah gagal menghadirkan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat lokal melalui penyediaan pelayanan yang menjadi urusan daerah

Sementara Haryanto mengatakan bahwa kebijakan desentralisasi adalah penyebaran kewenangan secara vertikal antara pusat dan daerah, ada kewajiban pemerintah pusat di Jakarta untuk melimpahkan kewenangan ke pemerintah daerah/lokal. Pemerintah Daerah juga dapat meminta kewenangan tersebut.

“Desentralisasi menghasilkan otonomi untuk daerah dapat mengurus dirinya sendiri karena daerah yang paling mengetahui/memahami daerahnya, hal ini sekaligus dapat menjadi alat kontrol pusat agar semua daerah tetap dalam bingkai negara kesatuan,” jelasnya.

Terkait revisi UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, Haryanto secara khusus mengusulkan pengaturan yang lebih detail atas proses pemekaran/pembentukan daerah otonomi baru, mengatur pola desentralisasi-otonomi dengan mempertimbangkan kekhasan dan keunikan daerah, serta menekankan agar aturan terkait penanganan bencana dan kegawatdaruratan dapat dimasukkan ke dalam materi revisi UU.

Lebih lanjut, Pakar Ekonomi UGM Mudrajad Kuncoro berpendapat bahwa kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah Indonesia bergerak zig-zag dari waktu ke waktu. Ada kecenderungan yang berbeda antara dominan desentralisasi atau dekonsentrasi dalam setiap UU dan Peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah, padahal sejatinya tujuan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, meningkatkan pelayanan publik dan mewujudkan demokrasi lokal.

Mudrajat berharap melalui fungsi dan kewenangannya, DPD RI bisa cawe-cawe menyuarakan kepentingan masyarakat daerah, tidak hanya memberikan pertimbangan terhadap perencanaan dan pengganggaran daerah, tetapi harus memberikan masukan kepada pemerintah pusat.

Pemateri lainnya, Zainal Arifin Mochtar menyoroti problem mendasar terkait UU Pemerintahan Daerah adalah materi/muatan apa saja yang akan dimasukkan dan diatur didalamnya. Inilah saatnya bagi DPD RI untuk membuat UU dengan paradigma yang lebih baru, berbasis kebutuhan, bukan berbasis pandangan mata, harus ada meaningful participation.

Zainal mengusulkan agar DPD RI yang sejatinya memiliki peran/konsentrasi besar di daerah dapat menginisiasi sebuah penelitian mengenai jumlah ideal provinsi, kabupaten/kota di Indonesia sebagai blueprint perencanaan pembangunan daerah.

“Saat ini pemekaran daerah hanya mengikuti logika politik saja, meskipun ada moratorium tapi tetap dilakukan, pemekaran dan penataan daerah, bukan hanya soal daerah besar, daerah kecil, daerah menengah, tetapi harus dibuat dengan parameter yang jelas parameter top down dan bottom upnya, dan perlu ada cetak biru yang mengakomodir keinginan masyarakat lokal”, jelasnya.

Terkait pembahasan RUU, Zainal berharap DPD RI mengusulkan RUU secara paket pembahasan (paket UU daerah), sehingga terjadi harmonisasi antar Undang-Undang. Seperti DPD RI bisa mengusulkan paket UU yang dilakukan pembahasan bersama, meliputi UU Pemda, UU Hubungan Pemerintah Pusat Dan Daerah, UU Perimbangan Keuangan Pusat Dan Daerah, termasuk dengan UU keistimewaan DIY apabila mau dilakukan revisi.

Beberapa hal lain yang menjadi masukan adalah usulan penerapan pola asimetric sequential desentralization, dengan memberikan sistem grading bagi provinsi dalam menjalankan pemerintahan di daerahnya dan dievaluasi secara bertahap serta berkala dengan parameter yang terukur oleh pemerintah pusat melalui Kemendagri. Pola ini memberikan ruang desentralisasi bagi daerah sekaligus tetap memberikan pusat kewenangan untuk memiliki kontrol evaluasi sehingga kesatuan Indonesia dapat tetap terjaga.