Hafidh Asrom Kunker Serap Aspirasi ke Dinas Pariwisata DIY terkait Rencana Perubahan UU Kepariwisataan

09 Januari 2024 oleh diy

Bapak Drs. H.A. Hafidh Asrom, MM melaksanakan kunjungan kerja ke Dinas Pariwisata DIY dalam rangka penyusunan Daftar Inventarisasi Materi (DIM) RUU Perubahan atas Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan pada hari Selasa (9/01). Kunjungan kerja diterima oleh Plh. Kepala Dinas Pariwisata DIY Kurniawan, S.Sos., S.E.Akt., M.Ec.Dev. dan Sekretaris Dinas Pariwisata DIY Lis Dwi Rahmawati, S.E., M.Acc. di Ruang Rapat Kepala Dinas Pariwisata DIY.

Dalam pertemuan tersebut Hafidh menyampaikan bahwa wisata di Yogyakarta sangat beragam yakni wisata budaya, wisata kesehatan dan wisata pendidikan. Upaya melestarikan dan mengembangkan potensi wisata yang berada di Yogyakarta dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pengembangan potensi wisata pendidikan dapat dilakukan dengan memberikan sekolah gratis bagi warga desa yang berpotensi dan memiliki minat untuk menjadi pemandu wisata serta beasiswa bagi calon murid/mahasiswa yang akan menuntut ilmu di Yogya.

Selanjutnya pengembangan wisata kesehatan dapat dilakukan melalui promosi paket kesehatan, memfasilitasi profesional di bidang kesehatan dan trend-setter di bidang kesehatan untuk berpraktek di Yogyakarta, serta mempromosikan berbagai Rumah Sakit di Yogyakarta yang sudah memiliki layanan setaraf internasional misalnya seperti RS Sardjito, RS JIH, RS Panti Rapih dan RS Akademik UGM.

Dukungan anggaran program-program tersebut seyogyanya dapat memanfaatkan Dana Keistimewaan. Dana keistimewaan sebaiknya tidak hanya digunakan untuk pembangunan fisik namun juga dapat teralokasikan untuk pengembangan SDM, tegas Hafid.

Menanggapi maksud dan tujuan serta hal-hal lain terkait pariwisata yang disampaikan oleh Hafidh, Kurniawan menjelaskan bahwa Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan memang sudah berumur lebih dari 14 tahun sehingga dalam perkembangannya saat ini banyak hal yang tidak dapat terakomodir.

Saat ini terjadi friksi di dalam kepengurusan dan pengelolaan desa wisata antara Kelompok Desa Wisata (pokdarwis) dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang merupakan bagian dari program Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia. Kementerian pariwisata tidak dapat menjangkau hal ini karena tidak ada cantolannya dalam Undang-Undang. Istilah Desa Wisata juga belum disebutkan dalam UU. Hal ini perlu mendapatkan perhatian khusus karena apabila dibiarkan berlarut-larut maka akan berpotensi mengganggu perkembangan desa wisata dan juga kondisi sosial ekonomi masyarakat.

“Nah sayangnya itu kalau sudah diambil alih BUMDes, masyarakatnya tadi yang sudah mengawali, merintis dan sebagainya. Semestinya bisa kolaborasi, jangan diambil alih. Atau misal diambil alih juga tetap melibatkan mereka sebagai pelaku pariwisata, dan sebagainya karena sustain itu kan tidak hanya sustain alamnya tapi sustain sosial, sustain secara ekonomi juga. Ini yang sebenarnya menjadi persoalan di bawah. Jadi kebetulan Desa Wisata itu juga tidak pernah disebut dalam UU Kepariwisataan, sehingga memang di pasalnya itu harus bunyi, karena asasnya di UU itu mengatasi kemiskinan, pengangguran, pemberdayaan.” imbuh Kurniawan. Selain itu, menurut Dinas Pariwisata DIY, UU seharusnya bersifat luas komprehensif karena paradigma pariwisata sangat luas. Pembangunan pariwisata ibarat minuman yang dapat diberikan topping, misalnya pertanian maka menjadi agrowisata, kesehatan menjadi health tourism, olah raga menjadi sport tourism, termasuk juga eco tourism.

Sinergisitas antar Undang-Undang juga harus diperhatikan karena berpotensi saling berbenturan, misalnya antara UU Kepariwisataan dengan UU Lingkungan Hidup dalam pengelolaan hutan wisata. UU yang ada saat ini kecenderungannya adalah mempertahankan namun tidak sampai pada tahap regenarasi/pelestarian, oleh karena itu maka diperlukan sinergi agar dapat berjalan bersama.

Kurniawan juga menambahkan hal lain yang mendesak yakni pengembangan wisata halal, karena saat ini mulai berdatangan wistawan dari luar negeri khususnya malaysia yang menjadikan halal tourism sebagai concern mereka.

Tantangan Yogyakarta ke depan tidak hanya pariwisata, namun juga jaringan transportasi dan dukungan infrastruktur di sekitar wilayah pantai. Pertumbuhan pariwisata tidak hanya berdampak pada meningkatnya angka kemacetan namun juga peningkatan jumlah sampah, inflasi dan kesehatan (penyebaran HIV/AIDS).