RESES BERSAMA 4 ANGGOTA DPD RI DARI DIY DAN FGD DALAM RANGKA PENGAWASAN PELAKSANAAN UU NOMOR 30 TAHUN 2009 TENTANG KETENAGALISTRIKAN SERTA PERUBAHANNYA DALAM UU NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA

oleh diy

Yogyakarta - DPD RI D.I. Yogyakarta, Senin, 1/03/2021 menggelar Focus Group Discussion (FGD) dalam rangka pengawasan Pelaksanaan UU Nomor 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan serta perubahannya dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Hadir pada kesempatan tersebut stakeholder terkait di antaranya PT. PLN Persero Area DIY, Bappeda DIY, Biro Pengembangan Infrastruktur Wilayah dan Pembiayaan Pembangunan DIY, Biro Administrasi Perekonomian dan SDA DIY, Biro Hukum DIY, Dinas PUP dan Kawasan Permukiman Kab/Kota, AKLI DIY, Lembaga Ombudsman DIY, Lembaga Konsumen Yogyakata, KADINDA DIY, PT. Konsuil Wilayah Yogyakarta, PWNU DIY dan PWM Muhammadiyah DIY.

Dalam paparannya, Muhammad Afnan Hadikusumo Anggota DPD RI DIY yang bertugas di Komite II menegaskan pentingnya verikasi data Rasio Elektrifikasi (RE). Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, realisasi Rasio RE nasional tahun 2019 sebesar 98,89% dan tahun 2020 sebesar 99,20%. RE untuk DIY sendiri pada tahun 2019 telah mencapai 99,99% dimana menurut BPS, dari 1.316.882 Rumah Tangga (RT) yang telah menggunakan listrik PLN sebanyak 1.152.414 RT dan yang menggunakan listrik non PLN sebanyak 164.338 RT. Ada sejumlah 164.338 RT yang diklaim menggunakan listrik non PLN. Jika yang dihitung hanya RT yang menggunakan listrik PLN, maka RE DIY hanya sebesar 87,51%. Ini tentunya menimbulkan pertanyaan lebih lanjut tentang sejumlah 164.338 RT yang diklaim menggunakan listrik non PLN. Apakah mereka menggunakan listrik sendiri atau ada badan usaha penyedia tenaga listrik yang beroperasi di DIY selain PLN.

Afnan menambahkan bahwa di bidang pembangkit, DIY belum memiliki pembangkit sendiri untuk mensuplai kebutuhan listrik masyarakat. DIY masih mengandalkan pasokan listrik dari jaringan interkoneksi Jawa-Madura-Bali (JAMALI) ditambah dari PLTU/PLTGU Tambaklorok, PLTA Mrica, PLTU Cilacap, dan PLTP Dieng. Padahal DIY memiliki potensi EBT yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi primer seperti tenaga angin, tenaga air, gelombang laut dan tenaga surya. Berdasarkan data pada RUPTL 2018-2027, DIY memiliki potensi panas bumi yang diperkirakan mencapai 10 MWe di lokasi Parangtritis dan Gunung Kidul. Selain itu juga terdapat potensi energi angin sebesar 50 MW di Wates dan di Bantul sebesar 70 MW.

Menurut Gusti Kanjeng Ratu Hemas yang bertugas di Komite I, UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang 2009 telah mengatur kewenangan kelistrikan oleh pemerintah pusat dan pemerintah provinsi/kab/kota. Namun regulasi kelistrikan mengalami perubahan dengan adanya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. UU Cipta Kerja penuh dengan ide sentralisasi sehingga semuanya bisa dianggap dikendalikan dari Jakarta.

Bertugas di Komite III, Dr. H. Hilmy Muhammad, M.A menyampaikan aspirasi dari pegiat wisata/Pokdarwis terkait listrik di pinggir pantai gunungkidul, listrik dan akses internet masih terbatas, dan keluhan Listrik padam di malam hari, sehingga perlu pengembangan listrik lebih lanjut. Namun demikian Hilmy mengapresiasi peningkatan kinerja PLN, pemulihan pemadaman tidak terlalu lama dan pada saat pemadaman sudah ada pemberitahuan terlebih dahulu.

Menurut Hilmy, PLN juga perlu mempersiapkan diri menghadapi booming kebutuhan listrik bandara YIA dan rencana Aerotropolis atau kawasan ekonomi sekitar bandara serta meningkatnya kebutuhan listrik masyarakat DIY. Kelistrikan juga menjadi salah satu upaya penanggulangan kemiskinan, sehingga PLN perlu memenuhi listrik di pedesaan yg terpencil, seperti di Kulon Progo atau Gunungkidul.

Ustad Cholid Mahmud, M. T. sebagai Anggota Komite IV memaparkan bahwa alokasi APBN 2021 sebesar 2750 triliun dan yang berasal dari hutang sebesar 1006 triliun. Berdasarkan kesepakatan antara pemerintah dengan parlemen, alokasi APBN 2021 terdiri dari pendidikan 550 triliun; kesehatan 169,7 triliun; perlindungan sosial 421 triliun, infrastruktur 413 triliun, ketahanan pangan 104,2 triliun; pariwisata 15,7 tiliun; dan ICT 29,6 triliun. Alokasi Perlindungan sosial termasuk didalamnya adalah alokasi anggaran untuk subsidi listrik. Alokasi subsidi listrik sebesar 110,5 triliun naik dari 108 triliun di tahun 2020. Dalam konteks perlindungan sosial yaitu memberikan subsidi kepada pengguna listrik 450 VA dengan menggratiskan biaya listrik dan untuk pengguna listrik 900 VA dikenakan biaya listrik sebanyak 50%.

Menurut Ustad Cholid, angka kelistrikan di yogya sangat tinggi yaitu 99,99 %. Maka perlu didorong Pembangunan Pembangkit Listrik Terbarukan, seperti pemanfaatan energi angin di pantai selatan. Untuk itu perlu ada kerjasama antar Pemda dan Akedimisi. Nantinya EBT bisa membantu pasokan energi PLN.

Ir. Pramuji Ruswandono, M.Si, Kabid ESDM PUP ESDM DIY menegaskan ada beberapa permasalahan ketenagalistrikan di DIY, meliputi: Data dari Basis Data Terpadu (BDT) TNP2K kurang sesuai di lapangan, verifikasi data N-1 saat pelaksanaan konstruksi kondisi sudah berubah, perbedaan NIK serta alamat antara KTP dengan BDT TNP2K, kondisi topografi wilayah sehingga pembangunan jaringan listrik menghadapi medan yang berat seperti di Kulon Progo dan Gunungkidul, serta persoalan sebaran penduduk yaitu jarak rumah dengan jaringan PLN (Pal tiang) terakhir >60 m.

Terkait EBT di DIY relatif terbatas seperti Hidro Skala Kecil, Surya, Angin, Biogas dan Biomasa. Saat ini jenis pembangkit yang dikembangkan antara lain Pembangkit Listrik Tenaga Hibrid Surya-Bayu (PLTH) di Pantai Baru dan Sanden, Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Biogas yang memanfaatkan limbah ternak seperti di Gunungkidul. Pembiayan EBT menggunakan APBD dan DAK dan partisipasi swasta.

Pemda DIY mengapresiasi upaya menggunakan energi yang terbarukan dengan diterbitkannya Perwal Kota Yogyakarta No. 42 Tahun 2019 tentang Batasan Usaha dan Pesyaratan Khusus Izin Mendirikan Bangunan yang mensyaratkan usaha hotel menggunakan energi yang terbarukan.

Menurut Dr. Rachmawan Budiarto, S.T., M.T., G.P. dari Pusat Studi Energi UGM, peran EBT semakin terdesentralisasi, aliran listrik di masa depan tidak akan hanya satu arah dari PLN atau vendor besar saja, suatu saat aliran listrik bisa menjadi dua arah yaitu masyarakat bisa menjadi produsen dan PLN bisa menjadi konsumen.

Meskipun ada permasalahan terkait EBT seperti; instalasi ETB masih ada dan tercatat di statistik tetapi kemampuan instalasi untuk energi sudah tidak mencukupi secara ekonomi. Namun EBT tetap menjanjikan, aliran dana ke Indonesia sampai dengan 2015 kurang lebih 38 milyar dolar, ini memperlihatkan market Indonesia sangat besar.

Melalu FGD ini, Eric Rossi Priyo Nugroho Manajer PLN Wilayah DIY menjelaskan Ketenagalistrikan di DIY. Listrik di DIY merupakan salah satu Sub Sistem Direktorat Kelistrikan Jawa Madura dan Bali, saat ini disuplay dari Sub Sistem Ungaran dan mempunyai backup Subsistem Medan, jika kedua Sub Sistem tersebut mengalami gangguan masih ada backup dari Sub Sistem Kesugihan. Saat ini kesiapan daya listrik di DIY sebanyak 1800 MVA tetapi kondisi listrik yang digunakan saat ini maksimal sebesar 550 MVA.

Secara khusus persiapan listrik di Kulon Progo dengan menyediakan 1 gardu induk di Wates yang disuplay dari 3 travo total daya sebesar 150 MVA. Kondisi ini untuk mengantisipasi beban listrik dan Bandara Yogyakarta Internasional Airport sebesar 8,6 MVA dan untuk mendukung pasokan di aerothopolis sebesar 70 MPA.

Terkait EBT, Rossi menambahkan saat ini PLN telah bekerjasama dengan PLTMH Semawung dengan menghasilkan daya sebesar 600 KW di Kulon Progo. Daya tersebut relatif kecil dengan pemasangan jaringan PLN di Kulon Progo sebesar 1080 MPA. Kondisi PLTMH sangat bergantung pada cuaca, jika kondisi kering dan banyak sedimen, PLTMH harus berhenti beroperasi untuk pemeliharaan. Namun EBT yang tidak dijual ke PLN atau yang digunakan masyarakat jumlahnya sudah banyak, ada lebih 30 pelanggan. Karena belum dijual ke PLN jadi sifatnya untuk mengurangi tagihan PLN.

RE di daerah kota menjadi sangat rendah, menurut Rossi karena penghitungan rasio RE menggunakan dasar Rumah tangga. Di lapangan terkadang 2-3 rumah menggunakan 1 aliran listrik induk. Persoalan lainnya adalah dalam hal pemasangan jaringan listrik baru. Aplikasi PLN hanya mendata 1 NIK untuk pemasangan instalasi baru. PLN juga tidak mempunyai kewenangan dalam hal menentukan subsidi bagi warga karena tugas PLN hanya sebatas mensurvei.

Suryawan Raharjo Ketua Lembaga Ombusman DIY mengapresiasi penggratisan biaya tenaga listrik untuk masyarakat tidak mampu pada masa pandemi. Namun harus tetap ada komitmen PLN untuk memberikan kepastian tegangan listrik pelanggan sebesar 220 V. Hal ini sebagai pertanggungjawaban PLN selaku penyedia layanan. Sayangnya masyarakat kurang memperhatikan. Dalam konteks konsumen, hak konsumen harus diperhatikan oleh PLN.

Persoalan lainnya adalah kalibrasi meteran konsumen, karena sudah digunakan selama jangka waktu yang lama tingkat akurasi menjadi berkurang. Beberapa kasus tagihan yang melebihi kewajaran dan konsumen wajib bayar meskipun dapat dinogosiasikan jumlah pembayarannya. Meskipun demikian, perlu diatur terkait kalibrasi meteran.

Menurut Suryawan, call center PLN sangat membantu, dalam konsidi normal petugas teknis datang dan bertindak cepat, namun perlu ada SOP PLN yang jelas supaya hubungan petugas teknis dan masyarakat terjalin baik.

Menutup rangkaian acara, GKR Hemas menyampaikan beberapa kesimpulan FGD sebagai berikut: Pertama, permasalahan pemasangan listrik rumah tangga bagi warga kurang mampu di DIY meliputi: Data dari Basis Data Terpadu (BDT) TNP2K kurang sesuai kondisi lapangan, verifikasi data N-1 saat pelaksanaan konstruksi kondisi sudah berubah, perbedaan NIK serta alamat antara KTP dengan BDT TNP2K, kondisi topografi wilayah, jarak rumah dengan jaringan PLN (Pal tiang) terakhir > 60 m dan NIK sudah dipergunakan orang lain (saudara, anak dan lain-lain).

Kedua, masih ada permasalahan terkait pengembangan EBT antara lain potensi EBT DIY masih relatif terbatas, penggunaan EBT yang sudah ada belum maksimal, biaya perawatan EBT relatif mahal, kemampuan SDM kurang, belum adanya subsidi untuk pemanfaatan EBT, penelitian dan pengembangan teknologi masih terbatas, koordinasi lebih lanjut dengan PT. PLN akses jaringan on grid pada sumber pembangkit EBT.

Ketiga, Penerbitan regulasi turunan dari UU Cipta Kerja seperti PP dan Peraturan Menteri sebagai acuan regulasi ketenagalistrikan hendaknya dipercepat agar dalam tataran pelaksanaannya tidak mengalami kendala.

Keempat, dalam rangka mempercepat elektrifikasi DIY dan guna menjamin pemerataan energi listrik bagi masyarakat khususnya masyarakat kurang mampu, perlu memperbesar alokasi DAK bagi daerah.

Kelima, PLN harus bisa memastikan kualitas tegangan listrik yang sampai kepada masyarakat sesuai dengan tegangan yang disyaratkan yaitu sebesar 220volt. Begitupun dengan kalibrasi meteran pelanggan, hendaknya dilakukan secara berkala untuk memastikan keakuratannya.

Keenam, kampanye penggunaan energi terbarukan dan hemat listrik hendaknya dapat dimulai dari penggunaan energi listrik pada gedung-gedung pemerintahan sebagai contoh kepada masyarakat. Untuk itu pemerintah kabupaten/kota dapat memasukan hal ini pada RPJMD 2021-2025.

Ketujuh, Perlindungan hak konsumen listrik berupa hak mendapatkan pelayanan yang baik, mendapat listrik yang berkualitas dan harga yang wajar serta hak mendapatkan ganti rugi atas kesalahan atau kelalaian operasional oleh PLN.